Menjemput Hujan

Sepertinya malam sedang mendung.

Terkurung, terpasung.

Mestinya kamu mendendanginya dengan sanjung.

 

Menjemput hujan.

Terlengkapi sudah jemawa malam ini.

Rintik dan bisik yang tangguh.

Jangan kamu mengeluh.

 

Biarkan jemarimu tenang.

Tetap tenang.

Pelana di kudamu tercipta anti hujan.

Ya, kamu tidak terhentikan.

Hujan dan gemuruh, mereka yang berkawan.

 

Tuliskan saja.

Rata dan miringnya lembab tanah ini.

Bersama gurat tanah yang basah.

Karena aku yakin kamu akan memerah lelah.

Meraba tengah.

 

Memang remang.

Mau apa lagi.

Rencana-rencana indahmu tidak pernah tersesali.

Hujan, gerah, apapun yang merasaimu.

Entah ungu, biru, sembilu sampai desir-desir penakluk rindu.

 

Ah, aku mulai gemar berkata rindu.

Sebenarnya, hujan ini yang rindu padamu.

 

Sampai nanti, ketika petang berangsur leleh.

Sampai nanti, ketika getir hujan meremeh.

 

Aku membawakanmu secangkir teh hangat. Maukah kamu meminumnya bersamaku? Oh iya, aku juga membawakanmu banyak sekali cerita. Mungkin tidak akan habis satu malam ini. Atau dua. Tetapi tidak apa. Sekarang minumlah teh buatanku.

Aku akan bercerita apa saja kepadamu. Dari daun berwarna ungu sampai nenek renta dengan gigi palsu berwarna merah marun terduduk manis di bangku taman. Aku berjanji kamu akan menyukainya sama seperti kesukaanmu pada senja yang bersemu di hari-hari kemarin.

Hey lihat, hujan berangsur reda…

Waaah, pasti menjadi malam yang indah untukmu…

Sekarang tidurlah…

Dan aku akan bercerita pada mimpiku…

Juga pada megah hujan malam tadi…

Leave a comment